Berita Misi Advent, 11 Januari 2025. 

Elberel, dari Mongolia.



Gadis yang Menjengkelkan.

Elberel merasa jengkel selama masa karantina wilayah akibat COVID-19. Dia belajar di Sekolah Tusgal, satu-satunya sekolah Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di Mongolia, dan sekolah ini termasuk yang pertama kali menggunakan kelas secara daring. Dia tidak suka duduk di depan layar komputer setiap hari, sementara anak-anak yang bersekolah di sekolah umum bisa tertawa dan bersenang-senang.

Dia bertanya kepada ibunya apakah dia bisa pindah ke sekolah umum.

Ibunya mengatakan bahwa dia tidak keberatan, tetapi ayah mengatakan tidak. Ayahnya adalah seorang pendeta Advent, dan dia sedang belajar jauh dari rumah di Universitas Andrews di Amerika Serikat. Ayah berkata kepada ibu, "Saya tidak ada di Mongolia untuk membantumu. Tetapi kita tidak bisa mempertaruhkan masa depan anak kita dengan mengirimnya ke sekolah umum. Dia mungkin akan membawa kebiasaankebiasaan buruk." Jadi, ibu berubah pikiran dan mengatakan kepada Elberel bahwa dia harus tetap bersekolah di sekolah Advent.

Namun, Elberel tidak menyerah. Ia bertanya kepada ayahnya, "Bagaimana kalau tahun depan saja?" Ayah tetap tidak mau menerima.

Melihat tidak ada gunanya bertahan, Elberel tidak mengatakan apa-apa lagi.

Tetapi kemudian sekolah umum tersebut juga beralih ke kelas daring, dan Elberel tidak lagi melihat anak-anak lain tertawa dan bersenang-senang. Perasaan terdesak untuk pindah sekolah pun sirna.

Setelah karantina wilayah berakhir dan semua sekolah dibuka kembali, Elberel mulai berpikir tentang sekolah umum lagi. Masalahnya adalah ada seorang anak perempuan di kelasnya. Gadis itu sepertinya suka berdebat dengannya dan menghinanya.

Setelah dua bulan, Elberel merasa tidak tahan lagi. Dia berpikir akan lebih mudah untuk pindah sekolah daripada bertahan dengan gadis itu. Dia menelepon ayahnya, yang masih kuliah di Universitas Andrews.

"Gadis itu terus menghina saya," katanya. "Saya ingin pindah ke sekolah umum."

Sang ayah mencoba membujuk Elberel untuk mengurungkan niatnya. "Kamu tidak bisa pindah hanya karena hal kecil seperti itu," katanya. "Bahkan lebih banyak anak yang akan menghinamu di sekolah umum."

Tetapi Elberel tidak menyerah, dan ayahnya mengalah. "Ayah akan mengizinkanmu pindah sekolah tahun depan," katanya.

Selama musim panas, ayahnya berubah pikiran, tetapi Elberel tetap teguh pada tekadnya untuk bersekolah di sekolah umum. Dia telah belajar di sekolah Advent sejak kelas dua, dan dia yakin bahwa akan menjadi tantangan yang baik baginya untuk belajar di tempat lain. Dia memohon kepada ibu untuk mengizinkannya pindah sekolah. Akhirnya, orang tuanya setuju, tetapi ayah memperingatkannya untuk berhati-hati.

"Hindari anak-anak yang memiliki kebiasaan buruk," katanya. Elberel berjanji akan melakukannya.

Hari pertama di sekolah umum sangat mengejutkan Elberel. Banyak anak laki-laki di kelasnya yang terlihat selalu merokok. Mereka juga saling menghina satu sama lain. Sepulang sekolah, mereka nongkrong dan minum alkohol. Elberel tidak menginginkan teman-teman seperti itu.

Selain itu, Elberel memiliki permasalahan dengan makan siang. Di sekolah Advent, anakanak mendapat makan siang vegetarian di kantin setiap hari, tetapi sekolah umum tidak memiliki kantin. Elberel harus mencari tempat untuk membeli makanan di jalan.

Seiring berlalunya waktu, Elberel menyadari bahwa ia memiliki masalah lain. Pelajaran di kelasnya tidak menantang. Dia sudah tahu semua yang diajarkan.

Setelah satu bulan, Elberel merasa cukup. Dia berharap bahwa dia seharusnya mendengarkan ayah, tetapi dia merasa malu untuk mengakui bahwa dia salah. Dia berdoa, "Tuhan, apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya tetap tinggal di sekolah umum, di mana saya dikelilingi oleh pengaruh buruk dan tidak belajar sesuatu yang baru? Atau haruskah saya kembali ke sekolah Advent dan berurusan dengan gadis itu?"

Keesokan harinya, ibu bertanya kepada Elberel tentang pelajarannya. Mendengar bahwa ia tidak mempelajari sesuatu yang baru, ia bertanya, "Apakah kamu ingin kembali ke sekolah Advent?"

Pertanyaan itu seperti musik di telinga Elberel. Ia merasakan bahwa Tuhan menjawab doanya. "Ya," jawabnya. "Saya ingin kembali." Ketika ayah mendengar berita itu, ia sangat senang.

"Belum terlambat," katanya. "Kamu masih bisa kembali."

Elberel harus menunggu beberapa hari lagi sebelum dia bisa pindah kembali ke Sekolah Tusgal. Dia tidak sabar menunggu–dan dia punya rencana bagaimana menghadapi gadis itu. "Saya berencana untuk mengabaikannya," katanya. "Ayah berkata bahwa dia tidak akan menjadi masalah jika saya mengabaikannya."

Sekolah Tusgal, yang terletak di Ulaanbaatar, Mongolia, menerima bagian dari Persembahan Sabat Ketiga Belas sebelumnya untuk membangun ruang kelas baru dan perpustakaan. Terima kasih untuk Persembahan Sabat Ketiga Belas Anda pada triwulan ini, yang akan membantu membuka pusat rekreasi untuk memperkenalkan Yesus kepada anak-anak di Ulaanbaatar.




Bagikan ke Facebook

Bagikan ke WhatsApp