Artikel // Apologetika // Rabu, 2 Oktober 2024



Injil Yohanes Membantah Unitarianisme.


Apakah anda setuju bahwa ‘APA YANG KITA PERCAYA (hal doktrin)’ menjadi pemandu yang efektif untuk ‘APA YANG KITA LAKUKAN (hal praktis) ?’ Ortodoksi memandu ortopraksi!

Pengantar:
Di Era Postmodern dimana relativisme (kebenaran yang relatif/subjektif) memberi pengaruh kepada orang kristen modern, banyak orang kristen masa kini menyepelekan doktrin dan hanya lebih memberi perhatian kepada hal-hal praktis. Penulis artikel sering mendengar ide: khotbah/pengajaran harus praktikal ketimbang teologis; Tidak perlu doktrin tapi terpenting hal praktis! Sebenarnya usulan ini mempunyai asumsi di belakangnya yaitu sentimen terhadap pengajar-pengajar yang punya segudang teori tapi lumpuh dalam mengaplikasikannya; ada juga yang apatis; ada juga karena malas untuk belajar doktrin dan menyembunyikan kemalasan dibalik kalimat ‘yang gampang-gampang/praktis saja.’ Memang buruk ketika tidak melakukan apa yang kita tahu, tapi bukankah lebih buruk lagi jika aktif melakukan apa yang kita tidak tahu?

Praktek tanpa doktrin beresiko menghasilkan tindakan yang berpusat kepada manusia, bukan demi kemuliaan Allah. Orang-orang berbicara kasih; kemurahan; kerendahan hati dan pengampunan, tapi perhatikanlah dengan jelas siapa yang di angkat tinggi? bisa jadi humanisme yang dipromosikan! Allah tidak terekspose tapi diri sendiri yang di endorse. Contohnya seorang pengkhotbah mempresentasikan tentang pengampunan tapi beliau dasarkan ide pengampunan dari prinsip humanisme. Jari beliau enggan menunjuk kepada teks Matius 18:32 & 33 yang memberikan motif mendasar atas pengampunan. Allah telah bermurah hati mengampuni kita yang bersalah maka kitapun bersedia mengampuni kesalahan orang lain. Lihat siapa yang dimuliakan? Yes… Allah dimuliakan & Allah yang menjadi pusat (teosentris). Juruslamat kita Yesus Kristus teladan terbaik, setiap tindakan praktisnya menghasilkan kemuliaan untuk Bapa-Nya di sorga. Itulah pentingnya doktrin dipelajari untuk memberikan motif yang tepat dalam tindakan praktis manusia, sebaliknya tanpa doktrin yang sehat beresiko mengangkat diri sebagai berhala dan menyingkirkan Allah. Lagipula jika doktrin yang sehat tidak memandu sikap anda maka filsafat manusia/subjektifitas manusia yang akan menggantikannya.

Kita tidak boleh antipati terhadap ide; ajaran(doktrin); hal teologis. Lagi pula tindakan yang konkret(nyata/berwujud) berasal dari hal asbtrak (tidak berwujud), Contoh sederhana: menyambangi anak yatim (tindakan konkret) berasal dari niat (hal abstrak). Perhatikan, niat adalah hal yang abstrak(tidak berwujud) yang mengarahkan tindakan yang konkret(nyata/berwujud). Tindakan nyata manusia adalah manifestasi dari ide/prinsip, lebih spesifik kehidupan praktis kekristenan berasal dari pemahaman teologis. Tentu saja oleh dorongan Pribadi Roh Kudus orang percaya belajar doktrin dan menjadi bergairah dalam melakukan tindakan nyata.

Ada juga resiko besar dari pengabaian terhadap doktrin yaitu memberi ruang terhadap pengajaran sesat. Sikap apatis terhadap doktrin mengikis sensitivitas kita terhadap ajaran palsu, kita tidak peka terhadap ajaran menyimpang karena kita tidak memahami ajaran yang sehat! Dengan ditambah kecanggihan teknologi media sosial memberikan ruang yang terbuka untuk siapa saja membuka mulutnya & mengajar, kita perlu memperlengkapi diri dengan belajar ajaran yang sehat demi membentengi kita dan orang lain dari ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab, tentu saja berdasarkan kebenaran Firman Tuhan! Pernyataan kitab suci: ‘Umat-Ku binasa karena kurangnya pengetahuan’ (Hosea 4:6, KJV).

Penulis artikel akan memberikan contoh fenomena ajaran sesat yang beredar cukup luas dan sangat aktif dipromosikan. Pergerakan ini dijuluki unitarianisme walaupun ada sebutan yang lebih spesifik menunjuk kepada nama kelompok kepercayaan tertentu. Mereka mengajarkan bahwa Allah adalah oknum yang tunggal, tunggal dalam aspek pribadi maupun aspek hakekat. Bentuk kepercayaan ini juga sempat ramai dibicarakan dalam gereja advent, mantan anggota gereja advent percaya doktrin ini dan memicu polemik dengan anggota gereja. Beberapa teks dan argumen dijadikan dasar tapi teks favoritnya adalah Yohanes 17:3, penulis artikel hanya akan menyoroti bagian ini. Yohanes 17:3 ‘Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.’ Oknum-oknum ini menafsir dengan buru-buru dan berdasarkan sepenggal teks tersebut mereka menarik kesimpulan bahwa hanya Bapa yang adalah Allah yang Esa & mengelminasi Yesus dari kategori Allah. Penulis artikel bermaksud memberikan sudut pandang mendalam mengenai isu ini.

Premis pertama, konteks dekat dan konteks jauh:
Kesalahan yang fatal dalam menafsir kitab suci adalah mengisolasi unit kecil (satu dua ayat) lepas dari konteks. Resiko yang ditimbulkan adalah anda dapat mencocokan satu ayat tersebut dengan asumsi anda yang mendahului pembacaan teks, maksudnya adalah sebelum melakukan pembacaan teks biasanya pembaca sudah punya presuposisi (asumsi) terlebih dahulu. Ingat tidak ada yang mendatangi Alkitab dengan pikiran kosong, ada kecenderungan membawa suatu asumsi/dugaan teologis tertentu. Dengan mengisolasi satu ayat keluar dari konteks akan mempermudah asumsi anda menyetir maksud teks tersebut. Sebaliknya dengan menganalisa konteks dalam narasi maka teks yang akan membantu anda dalam menyimpulkan, bukan asumsi anda. Dalam bidang biblika metode ini biasa disebut eksegesis narasi, upaya menarik keluar maksud dari penulis Alkitab dengan menganalisa narasi.

Konteks dekat (ayat sebelum dan sesudahnya). Yohanes pasal 17 merupakan doa Yesus untuk para murid supaya mereka memenuhi misi di dunia tanpa menjadi bagian dari dunia, juga doa untuk orang-orang yang menjadi percaya oleh pemberitaan para murid (Yoh 17: 9-20). Perhatikan dengan seksama narasi dalam pasal 17 bukanlah topik pembedaan hakekat/natur antara Bapa & Yesus, tidak ada maksud mengatakan Bapa saja Allah yang esa dan Yesus dikecualikan. Anda tidak akan menemukan penekanan itu dalam Yohanes pasal 17 kecuali anda curang dengan mengisolasi klausa di ayat 3: ‘mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar.’ Menarik kesimpulan bahwa Yesus bukanlah kategori Allah yang esa adalah tindakan memasukan ide yang asing didalam teks (eisegesis). Alih-alih membedakan, Yohanes pasal 17 justru mencatat bagaimana Yesus menekankan kedekatan kesamaan dan juga kesatuan antara diri-Nya dengan Bapa (Yoh 17:11, 21 & 22). Gunakan logika anda, benarkah oknum yang bukan Allah namun berani mendeklarasikan: …Kita adalah satu (Yoh 17:22). Hanya yang setara dapat menyatakan demikian bukan?

Mengenai asumsi memperbandingkan antara Bapa & Yesus dalam Yoh 17:3 dikarenakan ketidak jelian dalam melihat elaborasi sintaks, akan dijelaskan dengan sesederhana mungkin. Asumsi perbandingan ini muncul karena dikira ada dua subjek dalam kalimat yaitu ‘Engkau(Bapa)’ dan ‘Yesus’ maka menyimpulkan bahwa itu pernyataan yang membandingkan antara subjek Bapa & subjek Yesus. Jika anda juga berpikir demikian itu sebuah kekeliruan! Kata ‘Engkau(Bapa)’ dan kata ‘Yesus’ bukan dalam bentuk nominatif/subjek tapi dalam bentuk akusatif/objek, ke dua objek ini yang menerangkan subjek dalam kalimat yaitu ‘hidup kekal αἰώνιος ζωή (aionios zoe). Dengan adanya kata penghubung/konjungtif ‘dan καὶ’ mempertegas tujuan penulis Injil Yohanes untuk mendefinisikan subjek ‘hidup kekal’ dengan mengelaborasi kedua objek tersebut.

Konteks jauh (1 corpus). 1 buku Injil Yohanes justru menekankan Yesus sebagai Allah, mulai dari prolog sampai epilog. Dalam prolog Injil Yohanes, Yoh 1:1 dengan eksplisit mencatat profil Yesus dalam aspek ontologis (hakekat): ‘Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah...’ kata ‘bersama-sama’ adalah penekanan relasi kekal antara pribadi Firman dan pribadi Allah. Hal yang menarik adalah klausa terakhir: Yoh 1:1c ‘…Firman itu adalah Allah’ (Θεὸς ἦν ὁ Λόγος). Jika anda membaca dalam teks asli yunani koine maka didapati ada 2 subjek/nominatif: ‘Allah Θεὸς(Theos)’ dan ‘Firman Λόγος(Logos),’ namun kata Firman yang menjadi subjek utama dalam kalimat. Hal ini dikarenakan kata sandang ὁ(ho= itu/sang/the) merupakan definit artikel yang berfungsi menentukan subjek dalam kalimat, kata ὁ(ho) diberikan pada ‘Firman Λόγος(logos)’ maka Firman menjadi subjek dalam kalimat dan kata Allah berfungsi sebagai predikatif nominatif/kata benda yang bertugas menjelaskan kualitas subjek. Penulis artikel memberikan contoh paling sederhana: ‘Saya adalah Guru.’ Walaupun kata ‘saya’ dan ‘guru’ adalah nominatif, tapi kata ‘guru’ berfungsi sebagai predikatif nominatif yang berfungsi menerangkan kualitas diri dari kata ‘saya’. Kembali kepada topik, kata ‘Allah’ dalam Yoh 1:1c berfungsi menerangkan kualitas diri Firman. Yes… Firman itu mempunyai kualitas esensial Allah menurut Yoh 1:1c. Yohanes dari awal Injilnya sudah menekankan ke Allahan Yesus bahkan epilog dari Injil Yohanes mencatat pengakuan iman rasul tomas terhadap ke Allahan Yesus. Tomas berkata kepada Yesus: "…Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yohanes 20:28). Lagi pula jika menafsir Yoh 17:3 dengan asumsi Yesus bukan Allah maka membuat Yohanes bertentangan dengan diri Yohanes sendiri yang dibagian lain mengakui Yesus sebagai Allah.

Apakah anda pernah mengamati gaya sastra Injil Yohanes yang berbeda dengan gaya penulisan Injil sinoptik (matius, markus dan lukas)? Ketiga Injil memaparkan data historis tapi sangat sedikit tindakan memberi komentar didalam Injilnya, namun di Injil Yohanes sang rasul mengelaborasi data dan komentar teologis (contoh: Yoh 7:39). Dalam Injil Yohanes, sang rasul bukan saja memaparkan data historis tapi juga berteologi. Rasul yohanes berteologi dan teologinya: Yesus adalah Allah! Maka adalah jalan buntu menyangkal ke Allahan Yesus dengan pergi kepada Injil Yohanes, sebaliknya ke Allahan Yesus dijabarkan oleh rasul Yohanes dengan konsisten. Prolog dan epilog bahkan keseluruhan Injil Yohanes melarang anda menafsirkan Yoh 17:3 dengan asumsi yang salah tentang Yesus!

Premis kedua, shema yisrael:
Salah satu pendekatan yang sangat baik membaca dan menafsir kitab suci adalah dengan menempatkannya dalam kriteria kitab klasik, dengan cara demikian kita dapat melihat muatan budaya kuno dan ungkapan atau gaya bahasa kuno yang mungkin luput dari perhatian kita sebagai pembaca masa kini. Ingatlah bahwa Alkitab dalam hal ini perjanjian baru ditulis hampir 2.000 tahun yang lalu; di wilayah timur tengah dan sekitarnya; ditulis bukan dalam bahasa kita; serta bukan ditulis oleh satu orang saja. Kita perlu sadari ada rentang waktu antara penulisan Alkitab dan kita sebagai pembaca modern; ada rentang budaya; rentang bahasa; dan kekayaan sastra seperti genre kitab yang berbeda. Prinsip hermeneutika (prinsip menafsir) berperan sangat penting disini untuk membantu kita dalam “kasus tertentu yang tidak cukup diselesaikan dengan Alkitab terjemahan saja.”

Yoh 17:3 bukanlah ayat yang sukar dipahami jika anda mengunakan kacamata budaya yahudi dalam membaca perkataan Yesus: ‘…Engkau, satu-satunya Allah yang benar…’ Anda yang terbiasa membaca perjanjian lama akan familiar dengan konsep perkataan Yesus. Ide ini disebut shema yisrael yaitu bentuk pengakuan iman orang israel (Ul 6:4, Ul 32:39, Maz 86:10, Yes 45:22, Yes 44:6 & 9). Yesus yang berlatar belakang yahudi didalam doa-Nya sedang mengutip ide kredo shema yisrael, sebuah kredo (pengakuan iman) yang monoteistik. Allah yang benar hanyalah Bapa sebagai Allah bangsa israel, ilah bangsa-bangsa lain adalah ilah palsu (Kel 15:11, Ul 3:24, Maz 86:8). Perhatikan baik-baik penekanan shema yisrael, subjek yang dikontraskan ialah “Allah israel dengan ilah bangsa-bangsa.” Ketika Yesus memperkatakan Shema yisrael, Ia tidak sedang mengkontraskan diri-Nya dengan Bapa namun Ia sedang mengkontraskan Bapa dengan ilah bangsa-bangsa. Jika diparafrasakan perkataan Yesus: ‘Allah yang benar hanya Bapa, bukan ilah bangsa-bangsa.’ Anda dapat menarik kesimpulan bukan? Dalam Yoh 17:3 Yesus tidak mengecualikan diri-Nya dalam kategori Allah, tapi sedang mengelminasi ilah-ilah palsu bangsa-bangsa dari kategori Allah yang benar. Yesus sedang menyatakan pengakuan iman orang israel. Lagi pula dalam proposisi Alkitab perjanjian lama, Allah yang esa itu adalah keesaan yang kompleks bukan esa mutlak!

Premis ketiga, implikasi praktis:
Doktrin yang sehat akan koheren dengan penalaran yang sehat, tapi ajaran yang sesat akan berujung kepada absurditas. Seperti doktrin sesat yang mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Allah yang sejati yang berujung kepada penyembahan berhala. Sederhananya, di ujung lidah yang lain mereka mengatakan Yesus bukan Allah tapi di ujung lidah yang lain mereka menyembah-Nya. Apakah nampak bagi anda hal aneh dalam ajaran ini? Mengatakan Yesus bukan Allah maka Yesus tidak boleh disembah bukan? Bukankah Allah saja yang disembah? Tapi menggelikannya adalah oknum-oknum ini menolak ke Allahan Yesus tapi disaat yang sama menyembah-Nya. Mereka mengasumsikan Yesus ciptaan, disisi lain mereka menyembah Yesus yang telah diasumsikan ciptaan. Definisi yang cocok untuk oknum-oknum ini adalah ‘para penyembah berhala/penyembah ciptaan.’ Entah mereka sadar atau tidak dengan konsekuensi logis dari ajaran tersebut, ketidak selarasan antara ajaran dan praktik. Mereka membangun teori yang justru menembak kepala mereka sendiri!

Banyak juga orang Kristen modern yang tidak jeli untuk melihat pentingnya doktrin Kristologi (siapa itu Kristus), juga banyak yang tidak melihat bahaya besar dari menolak ke Allahan Yesus. Perhatikan ini… menolak ke Allahan Yesus memiliki efek kesesatan beruntun! Penulis artikel mendapati fenomena yang miris. Pada awalnya mereka menolak keseteraan Yesus dengan Bapa; berlanjut kepada menyangkal natur ke Allahan Yesus; lalu berpandangan Yesus tidak kekal/punya permulaan; lalu memposisikan Yesus sebagai ciptaan; hingga paling ekstrem adalah menghidupkan kembali ajaran sesat kuno yang disebut adopsionisme. Ajaran sesat ini memahami Yesus sebagai manusia biasa yang saleh dan oleh karena kesalehan-Nya Ia di angkat sebagai Anak Allah. Ajaran ini tidak percaya pra-eksistensi Yesus & memposisikan Yesus sekedar teladan moral bukan juruslamat. Dampak pada aplikasi kehidupan adalah manusia tidak mempunyai jaminan keselamatan melainkan harus mengupayakan keselamatan itu sendiri melalui kesalehan. Perbuatan kebajikan bukan lagi ekspresi syukur atas anugerah Allah didalam Yesus Kristus, melainkan target keselamatan yang harus dicapai. Injil Yesus bukan lagi kabar baik, tapi sekedar teladan hidup tidak lebih. Lihat! betapa gelapnya kesesatan yang ditimbulkan akibat pemahaman Kristologi yang keliru. Sungguh penting doktrin Kristologi yang sehat dalam iman Kristen! Jika abai anda beresiko terpeleset kedalam kesesatan dan kesesatan yang lebih dalam.

Rasul paulus memperingatkan jemaat Kristen di galatia untuk mewaspadai ‘injil yang lain’ (Gal 1:7 & 8). Penekanan yang keras dari rasul paulus: ‘…sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia.’ Kata terkutuklah dalam bahasa perjanjian baru adalah ‘anathema - αναθεμα.’ Kata ini sebuah ekspresi menjauhi/mengusir/mengekskomunikasi, lebih dalam lagi kata anathema ini mengandung harapan penghakiman kekal diakhir jaman 1 Kor 16:22 (ἤτω ἀνάθεμα, Μαράν ἀθά - terkutuklah ia, maranata!). Injil lain bukanlah Injil yang sejati tapi injil yang dimodifikasi dan dapat membinasakan. Dampaknya begitu buruk sebab dasar keselamatan orang Kristen terletak pada Injil, memodifikasinya akan berakibat fatal terhadap keselamatan orang percaya. Terkait dengan isu Yoh 17:3 dengan ajaran Yesus bukan Allah adalah bentuk injil yang lain yang berbahaya bagi keselamatan. Injil palsu ini juga mengaburkan keindahan Injil yang sejati: Yesus Firman Allah yang kekal memberikan kehidupan kekal bagi mereka yang percaya kepada-Nya.

Kesimpulan:
Tanpa penulis artikel menyimpulkan, pembaca dapat menarik kesimpulan yang kuat untuk mengatakan: Injil Yohanes tidak menolong ajaran unitarianisme, justru Injil Yohanes membantah ajaran tersebut.

Kajian ini bukan sekedar teori didalam kepala melainkan oleh pembelajaran doktrin yang sehat berbuah rasa kagum dan cinta kepada Yesus Kristus juruslamat kita. Rasa kagum dan cinta termanifestasikan dalam tindakan praktis yang nyata yaitu melayani-Nya, itulah pengalaman iman yang dirasakan oleh penulis artikel.


Penulis Artikel: Adam Hiola (teolog awam)




Bagikan ke Facebook

Bagikan ke WhatsApp